A. Pengertian
Asya
(2000) mendefinisikan perselingkuhan (Selingkuh) diartikan sebagai
perbuatan seorang suami (istri) dalam bentuk menjalin hubungan dengan
seseorang di luar ikatan perkawinan yang kalau diketahui pasangan syah
akan dinyatakan sebagai perbuatan menyakiti, mengkhianati, melanggar
kesepakatan, di luar komitmen. Dengan kata lain selingkuh terkandung
makna ketidakjujuran, ketidakpercayaan, ketidaksaling menghargai, dan
kepengecutan dengan maksud menikmati hubungan dengan orang lain sehingga
terpenuhi kebutuhan afeksi-seksualitas (meskipun tidak harus terjadi
hubungan sebadan).
Kita
tentu sudah mengenal berbagai
akibat selingkuh. Bukan saja terancamnya rumah tangga, tetapi juga terkadang membawa dampak ikutan yang cukup berat, seperti hancurnya harapan anak-anak, rasa malu yang ditanggung keluarga besar, rusaknya karir. Lebih dari itu semua adalah rusaknya tatanan sosial pada masa mendatang.
akibat selingkuh. Bukan saja terancamnya rumah tangga, tetapi juga terkadang membawa dampak ikutan yang cukup berat, seperti hancurnya harapan anak-anak, rasa malu yang ditanggung keluarga besar, rusaknya karir. Lebih dari itu semua adalah rusaknya tatanan sosial pada masa mendatang.
B. Mengapa Selingkuh
Banyak sebab mengapa suami (istri) melakukan selingkuh.
1. Faktor Utama
a.
Predisposisi kepribadian. Ada beberapa individu yang cenderung memiliki
gairah seks yang besar (seksmania) ataupun yang mengalami kebosanan
seksual. Miskinnya afeksi seksual pasangan dapat menjadi pemicu kuat
untuk terjadinya pengembaraan seksual dan juga afeksi dari orang lain.
Modusnya mulai dari jajan seks, memelihara simpanan WIL (PIL), affair
tanpa seks. Yang kesemuanya berkategori perilaku abnormal dan abnorma.
b.
Terjadinya desakralisasi lembaga perkawinan. Rumah tangga (RT) yang
tadinya dianggap sebagai lembaga ideal untuk menyelamatkan dua sejoli
dari dosa. Muatan kehalalan menurut agama menjadi rapuh dan keluarga
dipandang sebagai rutinitas bahkan beban kehidupan. Orang ingin
melepaskan dari kegagalan menciptakan RT yang ideal. Keabsahan agama dan
kehalalan agama dipandang sebagai sebuah formalitas saja tanpa ruh,
akhirnya ia meruntuhkan (meralat) kesucian agama.
c.
Terjadinya deidealisasi lembaga RT. Semua orang yang menikah biasanya
diawali dengan angan-angan, cita-cita yang luhur, punya keturunan yang
baik, materi yang cukup, serta masa depan yang bahagia. Idealisasi ini
runtuh setelah mengalami tahap kemandegan spiritualitas memerankan RT.
Orang menjadi tidak peduli, karena idealismenya tidak akan pernah
tercapai. Orang semacam ini tidak lagi memiliki gambaran ideal lagi
tentang RT.
d.
Terjadinya dekadensi moral. RT adalah lembaga moral terbesar dalam
masyarakat. Di RT lah setiap individu memperoleh pendidikan mendasar.
Suami (istri) memerankan tugas mulianya secara moral hampir 50% berada
di RT. Dari cara mendidik anak-anaknya, komunikasi, tata krama, life survive semuanya
digambarkan begitu gamblang di RT. Ketika seseorang tidak lagi
menyadari fungsi RT sebagai lembaga moral terbesar, maka ia benar-benar
jatuh 50% dari hakekat moralnya. Wajar kalau semua agama menghukum berat
pelaku selingkuh, sebab kalau dibiarkan sama dengan 50% keruntuhan
moral masyarakat. Seperti kita mengenal dalam ajaran Islam, selingkuh
berarti mati, dan sekaligus cerai. Demikian pula dalam Kristiani,
perceraian menjadi mungkin karena salah satu pihak telah berzina. Dalam
Hindu pun selingkuh memperoleh hukuman yang berat. Bahkan, semua budaya
primitif sekalipun menganggap selingkuh sebagai sebuah aib dari 10 aib
terbesar.
2. Faktor Pendukung
a.
Faktor fasilitasi sosial. Lemahnya institusi masyarakat dalam masalah
moral sosial dan hukum menjadi lahan subur selingkuh. RT seolah
memperoleh ancaman serius dari lingkungan. RT yang sejak awal sudah
bagus semacam digerus perlahan-lahan oleh lingkungan yang memfasilitasi
kebejatan moral atau memperbolehkan (permisivitas masyarakat). Bagaimana
tidak aneh, di satu sisi di RT dituntut kesucian, kesetiaan pada saat
yang sama diijinkannya melakukan selingkuh di lokalisasi berizin. Hal
yang sama terjadi dalam bingkai kehidupan yang lainnya. Ketika kampanye
anti merokok sedang gencar, tetapi iklan rokok secara terbuka menyatakan
bahayanya. Setiap hari kita disuguhi agar miras diberantas, pada saat
yang sama ia berada di tempat-tempat berizin. Dalam teori psikologi,
kenyataan ini akan menciptakan dissonance cognitive-kekacauan berfikir. Dalam istilah umum orang harus terbiasa bermuka dua, bersikap yes dan no pada
kasus yang sama, untuk pro dan kontra secara bersamaan dalam peristiwa
yang sama. Hal inipun menular dalam RT, seperti mencintai sekaligus
selingkuh.
b.
Ketersediaan group secara sosial. Nampaknya tidak semua kaum selingkuh
ini mendapatkan dampratan masyarakat, tetapi juga memperoleh penerimaan
dari komunitas tertentu-meskipun terbatas. Bisa kita bayangkan bahwa
orang dengan bangga mengumbar pengalaman selingkuhnya sebagai sebuah
prestasi keperkasaan, atau keseksian. Ada saja orang yang bangga kalau
ia telah berhasil menggaet daun muda, atau bahkan merasakan goyang
randa. Sebagaimana ada pula yang bangga kalau ia berhasil menaklukan
bos, atau menjerat suami orang walau hanya sesingkat short time.
Komunitas (Purwanto, 1999) ini mudah terbentuk di lingkungan kerja,
dimana interaksi pria-wanita sering terjadi. Tresno jalaran soko kulino menjadi
alasan paling banyak (33%) terjadinya selingkuh. Sedangkan di
masyarakat komunitas yang kontra selingkuh semakin menipis kekuatan daya
tangkalnya. Hal ini karena selingkuh dianggap sebagai fenomena yang
terlalu sering terjadi. (Penelitian di Jakarta, 1997, 2 dari 3 laki-laki
pernah berselingkuh).
c.
Lemahnya sangsi sosial dan hukum. Secara umum masyarakat kita sangat
mudah memaafkan kesalahan. Walaupun kesalahan itu sangat fatal menurut
kacamata agama. Sedikit sekali kasus selingkuh diproses menjadi kasus
hukum.
Di
Amerika Serikat kasus selingkuh sudah melanda 60% keluarga, bahkan
jutaan bayi lahir tanpa lembaga perkawinan, tetapi dengan bangga mereka
mengakuinya, semisal aktris Madonna.
Prediksi
penulis di Indonesia kasus selingkuh terbongkar dan yang dibawa ke
pengadilan dan berakhir dengan perceraian hanya 5%, 8% masuk penjara.
padahal kasus yang tidak terbongkar jauh lebih besar. Sisanya
diselesaikan diselesaikan secara kekeluargaan, tahu-sama tahu,
dilupakan, mengambang, dihukum secara sosial, di keluarga hanya pisah
ranjang. Kenyataan ini semakin memperbesar komunitas penerimaan terhadap
kasus selingkuh.
Selain itu, hukum yang mengatur sangat fleksibel, lentur tergantung kebijakan hakim. Dan dimana selingkuh itu dilakukan.
d.
Media massa. Tentu kita sudah maklum bahwa lagu-lagu telenovela,
sinetron, film, dan juga kelakuan langsung para sineas film menunjukkan
ide-ide perselingkuhan sebagai fenomena wajar. Dengan suka cita
rangkaian cerita itu dinikmati sebagai sebuah entertainment. Mengapa
hal itu terjadi Karena orang lebih mentuhankan cinta tetapi tidak
menghargai hukum Tuhan tentang cinta itu sendiri. Para artis/aktor yang
selingkuh, bercerai secara terus menerus dipublikasikan dengan
bumbu-bumbu entertainment, seolah-olah tanpa dosa dan tetap menjadi pujaan.
e.
Era hedonisme. Kita telah lama mendengar bahwa sekarang ini memasuki
era kebebasan dan materialisme. Sangking sudah bingungnya menghadapi
kasus selingkuh di satu sisi, tetapi kebutuhan materi disis lain, atau
kebutuhan gengsi (kehormatan) di sisi lainnya, ada sebagian orang yang
berprinsip: di rumah adalah suami (istri)ku, di luar terserah, yang penting tidak mengganggu ekonomi RT, dan tidak saya pergoki.
3. Faktor Pemicu lain
a. Seringnya
memelihara pandangan, pendengaran dan pikiran tentang hasrat seksual,
semisal berbicara hal-hal yang yang porno sesama rekan atau teman dekat.
Biasanya selingkuh diawali oleh hasrat seksual yang atraktif, bahkan
bersifat sesaat. Semisal melihat gadis-gadis cantik (perjaka ganteng)
yang setiap hari ada di pinggir jalan, di sekolah, di toko, mall atau
dimanapun. Hasrat ini semakin menguat ketika pasangan di rumah kurang
kreatif dalam teknik seksologi. Proses yang ditahapi: (1)
mengawali dengan coba-coba, (2) lalu terjebak dan (3) sulit menghentikan
(4) konflik (5) resiko berkelanjutan.
b. Media
pornografi dan pornoaksi yang mudah diperoleh, bahkan disediakan oleh
media televisi secara terselubung. Semisal acara musik dengan latar
penari yang seronok yang seksi, bagi para penonton berhasrat seks cukup
tinggi, atau mudah terangsang, dapat menjadi ingatan sesaat yang muncul
untuk mencari penyaluran lain selain pasangan.
c. Kesepakatan
canggih. Pada beberapa kasus selingkuh, kedua belah pihak memperoleh
manfaat sesaat. Mereka menyadari resikonya dan karenanya sepakat untuk
hanya sekedar berenjoy ria secara seksual dan mengaturnya
secara canggih sehingga tidak sampai membuat bubar keluarga
masing-masing. Kalau ketahuan akan sama-sama menolaknya dan sama-sama
mengakhirinya. Mereka menjalaninya sebatas aman saja.
d. Kecanggihan
teknologi anti hamil. Kecemasan akan kehamilan akibat sek bebas semakin
kecil, karena hampir 95% mereka yang selingkuh telah memahami fungsi
kontrasepsi atau bagaimana caranya seks tanpa kehamilan. Sebagaimana
juga terjadi di kalangan remaja putri yang terlibat pada perselingkuhan
dengan om senang. Dalam hal ini penelitian Kainuna (2001)
mengindikasikan bahwa teknologi kehamilan memberikan 70% kontribusi pada
keberanian seseorang untuk melakukan seks bebas dengan rasa aman dari
kehamilan. Kehamilan terjadi pada seks bebas remaja cingur.
C. Selingkuh dengan Siapa
Berikut ini beberapa data selingkuh di kalangan eksekutif pria Jakarta (101 orang) Asya (2000):
NO
|
Hubungan perselingkuhan
|
% |
1 | Kerja | 23 |
2 | Mantan Pacar | 37 |
3 | Dikenalkan oleh teman (mak comblang) | 17 |
4 | Orang baru (ketemu di Mall, toko) | 13 |
5 | Tuna Susila (di Hotel, Bar, Diskotik) | 7 |
6 | Lain-lain | 3 |
No
|
Sebab-sebab
|
% |
1 | Hasrat afeksi: Sering ketemu | 33 |
2 | Hiburan seksual, pengalaman seksual unik | 21 |
3 | Pasangan: hampa seks, bosan | 14 |
4 | Mitos: Resep awet muda | 11 |
5 | Balas dendam pada pasangan | 9 |
6 | Ketularan teman, diajak teman, disodorkan teman | 6 |
7 | Mabok, tidak sadar | 4 |
8 | Merasa punya biaya | 2 |
No | Model | % |
1 | Hanya telpon/sms | 16 |
2 | Ketemu untuk ngobrol saja | 14 |
3 | Pacaran | 8 |
4 | Hubungan badan di hotel | 32 |
5 | Hidup Serumah (samen leven) | 21 |
6 | Kawin fiktif (tidak syah secara agama, aspal) | 9 |
No | Cara penyelesaian | % | ||
1 | Cerai ke pengadilan | 5 | ||
2 | Cerai tanpa surat | 12 | ||
3 | Pisah ranjang satu rumah | 18 | ||
4 | Memaafkan dan akur lagi | 36 | ||
5 | Membiarkan pasangannya selingkuh | 8 | ||
6 | Menerima Saling selingkuh | 9 | ||
7 | Kawin madu karena terpaksa | 3 | ||
8 | Masuk penjara | 8 source:ilmupsikologi.com |